Sabtu, 16 Juli 2011

Demonstran

Kesedihan yang dalam jelas terukir diwajah Andri, pandangannya tertuju pada Sesosok tubuh sahabatnya Tyo yang kini terbaring tak bernyawa dihadapannya
Pecah tangis kehilangan menyelimuti suasana pagi itu di rumah duka. Kentara sekali kehilangan yang luar biasa dirasakan sanak keluarga dan kerabat Tyo saat itu. Betapa tidak, sahabatnya Tyo adalah anak satu-satunya yang menjadi kebanggaan keluarga. Tyo dikenal sebagai anak yang cerdas dan baik pada siapapun. Tak ada yang menyangka sebelumnya kepergian sahabatnya begitu cepat.
Keharuan itu kini meluap-luap didadanya, tetapi Andri berusaha untuk menahan diri. Ia hanya menunduk berusaha menahan tangis yang tercekat di penghujung tenggorokannya. Matanya yang merah sesekali mengeluarkan air mata,  Dalam kepalanya masih berkelebat  bayangan sahabatnya saat meregang nyawa akibat peluru yang bersarang di dada, meskipun samar namun masih jelas betul dalam ingatannya pada hari ketika tragedi  berdarah itu terjadi sebelum akhirnya ia harus terkapar di tanah tak sadarkan diri.
Saat itu Andri, Tyo beserta rombongan aktivis lainnya tergabung dalam aksi gelombang perlawanan mahasiswa terhadap  rezim pemerintahan korup selama berminggu-minggu lamanya, mereka telah melakukan demonstrasi gabungan dengan kampus-kampus lain yang lebih besar dan terkenal di saentero Negeri. Puncaknya di siang hari yang naas itu, mereka hendak melanjutkan aksinya dibagian barat kota. Seiring dengan semakin membesarnya huru-hara demonstrasi di Pusat Kota tersebut, kerusuhanpun tak dapat dihindari.
Suara-suara demontsran itu semakin membahana memekakkan telinga. Mereka silih berganti meneriakkan “Turunkan rezim pemerintahan korup!!!”, “Turunkan rezim pemerintahan korup!!!”, “Koruptor tidak pantas untuk memimpin Negeri ini!!!”, “Berantas koruptor!!!”, “Turun atau mati!!!”, “Turun!”, Turun!”, Turun!”, “Turun!”, Turun!”, saling tumpang tindih disekitar, berlomba menyerbu pendengaran dan penglihatan para Penduduk Kota yang melihat aksi demonstrasi itu dari kejauhan.
Huru harapun semakin menjadi ketika beberapa demonstran membakar ban, ditengah kepulan asap yang membumbung tinggi,  para demonstran bersorak riuh menyanyikan “reformasi…reformasi…reformasi, sampai mati..!!” Suara-suara itu masih membahana, memekikkan telingga.  Sejumlah aparat kepolisian menyemburkan gas air mata bertubi-tubi kepada para demonstran. Sebagai peringatan agar para demonstran menghentikan aksinya. Bukannya memadamkan konflik, hal tersebut justru semakin memicu kemarahan para pendemo untuk melakukan perlawanan secara brutal. Kerusuhan semakin memuncak ketika para mahasiswa tersebut saling bergerombol berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap aparat keamanan. Tak pelak saling baku hantampun terjadi.
Saling dorong, dan saling lempar menjadi pemandangan yang mencekam kala itu. Penduduk Kota yang semula menonton seketika nyalinya menciut  berhamburan berlari kesana kemari sambil berteriak-teriak kalap, mereka simpang siur menyelamatkan diri dan memilih bersembunyi di bawah kokohnya tembok rumah mereka.
Kekacauan kota semakin tak terkendali tatkala beberapa aparat kepolisian mengeluarkan senapan dan meluncurkan tembakan di udara. Mereka berseru “Mundur!!”, “Mundur!!”.
Salah sorang lelaki paruh baya berseragam polisi lengkap dengan senapan ditangannya terus menembakkan tembakan peringatan di udara “Dor…!! “Dor…!!” Dor.!!.” sambil berteriak “Jika kalian tidak mundur, kami tidak akan segan-segan menembak kalian”.
“Dor..!! Dor…!! Tembakan meletus lagi dan meletus lagi kali ini berturut-turut.
Tembakan itu diiringi dengan aksi saling kejar-kejaran antara aparat dan para demonstran.  Ada sebagian aparat yang berhasil menangkap beberapa mahasiswa yang kurang cekatan menghindar, diseretnya mereka ke pos-pos penjagaan terdekat. Sedangkan sebagian yang lain beseliweran berlari menghindari aparat yang mengejarnya.
Tidak terkecuali dengan Andri dan Tyo yang tidak luput dari pandangan sinis aparat kepolisian juga menjadi target pengejaran.
“Buk….!! Sebuah batu mengenai bagian belakang pundaknya. Sakit bercampur nyeripun seketika menyerangnya. Entah siapa yang melemparnya, tetapi hantaman sebongkah batu seukuran kepalan tangan orang dewasa itu membuat langkahnya terseok-seok. Hampir saja dirinya tertangkap tetapi Tyo segera membantu. Diapitnya tangan sahabatnya tersebut, dan dibawanya berlari meliuk-liuk menghindari kejaran aparat. Hingga Sampailah keduanya di sebuah gang sempit, gelap yang diapit oleh dua buah gedung pertokoan. Setelah dirasanya aman dari pengejaran, sejurus kemudian keduanya memutuskan untuk bersembunyi di balik tumpukan sampah yang menutupi gang tersebut.
Meski bau menyengat menyemburat dari gundukan sampah yang kelihatannya dibiarkan berhari-hari, keduanya tetap memilih untuk bersembunyi hingga keadaan benar-benar aman untuk mereka keluar.
Dari kejauhan samar-samar masih terdengar  tembakan demi tembakan meletus nyaring tak jauh dari mulut gang di seberang jalan sana.  Beberapa saat kemudian keduanya saling beradu pandang,  meski satu sama lain berusaha tetap tenang namun ada segurat kecemasan yang tersirat diwajah mereka. Mereka tahu betul resiko apa yang akan ditanggung karena telah berani menentang penguasa, jika mereka tertangkap bukan hanya sekedar dipenjarakan namun kemungkinan terburuk dibunuh dibalik jeruji dapat saja menimpa mereka .
Setelah beberapa saat lamanya mereka menunggu. Suara tembakan itu semakin lama semakin tak terdengar, suara-suara hiruk pikuk ketakutan Penduduk Kotapun semakin tenggelam. Dilihatnya dari celah-celah tumpukan sampah, keadaan di luar sana mulai sepi. Tak ada lagi orang-orang berseliweran, pontang panting melarikan diri. Setelah dirasa keadaan mulai aman, Tyo pun memberanikan diri untuk sedikit melongok di balik gang, memastikan betul bahwa keadaan benar-benar telah aman. Andri yang sedari tadi bersandar di balik tumpukan kardus-kardus besar yang terserak dipinggiran lorong gang hanya bisa mengamati sahabatnya itu. Perasaan nyeri membuatnya tak cukup tenaga untuk sekedar berdiri bahkan berjalan.
‘Dor…!! Untuk kesekian kalinya suara tembakan itu meletus lagi. Kali ini terasa begitu dekat. Sesaat tubuh sahabatnya  itu pun lunglai tanpa tenaga terhempas ketubuh Andri yang berada tak jauh dari Tyo. Sebuah hentakan berat menghantamnya. Kepala sahabatnya membentur perutnya kemudian keduanya terlontar keatas tumpukan kardus-kardus bercampur sampah. Andri merasakan punggungya semakin sakit tak tertahankan, menindih berbagai botol dan barang-barang keras terbungkus kardus dengan tubuh Tyo yang kini membebaninya.

Dan untuk pertama kali dalam hidupnya Andri melihat wajah sahabatnya, sesaat begitu dekat lalu menjauh dan terkulai disampingnya. Lalu ketika ia menarik tangannya dari tindihan sahabatnya, untuk pertama kalinya pula ia melihat darah manusia begitu kental, memerah hangat ditelapak tangannya, membercak membasahi almamaternya, dan membercak bundar merah tua mengalir dari dada sahabatnya.
Darah, dan darah terus berceceran mengalir. Sahabatnya tertembak dan kini tergeletak lemah tak berdaya. Masih terdengar erangan dan desah kesakitan begitu lemah dari mulut sahabatnya yang kini  mulai mengeluarkan darah. Tak berapa lama ia hanya dapat menatap pilu sahabatnya yang kini terkulai tak bernyawa dihadapannya. Seakan tak percaya Andri mencoba menepuk-nepuk pundak sahabatnya berusaha membangunkan. “Tyo,, Tyo,, bangun!!” tetapi sia-sia tak ada respon sedikitpun. Beberapa kali dirinya mengguncang-guncangkan tubuh sahabatnya itu dengan keras, tetapi tetap saja sepi. Akhirnya andri pun menyerah sahabatnya kini benar-benar telah tiada  dengan suara lirih ia mengucapkan “Inna lillahi wa inna lillahi roji’un”.
**__**
Andri limbung, tak tahu harus berbuat apa. Entah kekuatan apa yang mendorongnya, Andri pun bangkit dan membopong raga tak bernyawa itu. Ia tak peduli lagi dengan kerusuhan diluar sana, tak peduli dengan kemungkinan aparat yang akan menangkapnya atau menembaknya. Yang ada dikepalanya kini hanya ingin membawa jenazah sahabatnya kembali ke keluarganya.
Beberapa saat suasana kota menjadi hening. Kini wajah wajah asing menatapnya silih berganti dengan pandangan  penuh rasa ingin tahu. Hiruk pikuk manusia semakin ramai dan sebagian kini berkerumun menghampiri. Orang-orang masih berkelebat, sementara Andri tetap tidak menghiraukan dan terus memacu langkahnya. Semakin lama langkahnya semakin berat dan lambat. Meskipun ia telah mengerahkan segenap tenaga untuk membopong jenazah sahabatnya, namun tak tertahankan lagi. Tubuhnya kini limbung dipenuhi keringat dan darah, air mata terus mengalir dari pelupuk matanya turut mengotori wajahnya yang juga di sapu debu–debu jalanan. Lukanya yang menganga akibat robekan pecahan botol tak dihiraukannya meski semakin nyata dan menyakitkan.
“Gubrak..!! akhirnya tubuh kurus itupun tak mampu lagi membawa beban dipundaknya dan seketika jatuh tak sadarkan diri terhempas ditanah bersama jenazah sahabatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar